Tuesday, September 22, 2015

Dance is the Hidden Language of the Soul

Tengah malam itu, kita bersama beberapa teman yang lain sedang asyik menikmati hidangan masing-masing. Seingatku aku sedang menyantap sepiring Mie Rebus Aceh Cumi, sedang kamu menyantap nasi goreng. Yang lain? Bermacam-macam pesanannya, Roti Cane, Mie Goreng Aceh, dan berbagai hidangan khas Aceh lainnya.

Aku ingat, saat itu kita belum terlalu dekat. Dekat? Hmmm, hubungan dekat macam apa ya, yang kita jalani sekarang ini? Aku tidak tahu, tidak bisa didefinisikan. Terlalu samar-samar.

Saat itu, kamu adalah orang yang paling nyaman dan paling bisa aku percaya untuk menumpahkan segala macam beban yang ku sendiri entah sanggup entah tidak untuk memikulnya.

Aku ingat, waktu itu kita duduk bersampingan, sehingga kita bisa berbicara, sedikit berbisik, mencuri waktu untuk aku mengeluarkan keruwetan yang ada dalam pikiran ku, yang hanya bisa (yang hanya ku percaya) untuk berbagi denganmu, masih belum bisa ku bagi dengan yang lainnya, padahal, nyatanya, di situ, kamu adalah orang yang paling baru ku kenal.

Saat itu, kamu tahu benar, aku sedang dalam gelisah, banyak beban dan penat yang menumpuk, terlalu banyak emosi yang ku simpan, tapi tidak bisa aku keluarkan.

Di sela-sela makan kita, aku bilang sama kamu, "aku merasa punya alter ego." "Alter ego?! Memangnya kamu merasa seperti apa?" tanyanya. "Aku merasa dalam perangaiku yang sekarang, aku merasa terbatasi, dibatasi, dikungkung, jauh di dalam dasar hatiku, aku ingin bebas, merasakan kebebasan."

"Kamu tahu? Hal-hal gila apa yang ingin aku lakukan?",
"Apa?" tanyamu.
"Aku suka, half naked di dalam kamar, aku merasa seksi, bebas, lepas tanpa batasan apa pun.
Aku ingin menggambar tato kupu-kupu berwarna biru di pinggulku, karena aku rasa itu seksi, dan suatu bentuk transformasi, suatu yang buruk rupa menjadi suatu keindahan.
Aku suka menari! Dengan tari aku bisa melepas emosi dan semua rasa yang terpendam dalam jiwa."

Semua itu tak pernah kuceritakan (paling tidak secara detail) pada orang lain. Bodohnya, kenapa aku ceritakan itu semua ke kamu? Seorang lelaki yang baru ku kenal beberapa bulan ini?!

"No, No, No, No, No, itu bukan alter ego! Itu hanya ungkapan emosi dan ekspresi di dalam diri kamu saja", katanya. "Karena alter ego, jauh lebih, menyeramkan", katamu dengan nada hati-hati.
"Alter ego, seperti kita memiliki pribadi yang lain, yang bisa kita ajak bicara, ketika kita membutuhkan sosok diri kita yang lain, sosok yang ingin kita ajak bicara, diskusi, berbagi pandangan, memutuskan sesuatu. Kamu tidak punya alter ego, ekspresikan lah emosi dan perasaanmu, kalau memang itu perlu,"

"Menarilah!"

Kata-kata yang menjadi penutup perbicangan ku dengannya malam itu.

*** 

(bersambung)

No comments:

Post a Comment